Pancasila
dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1945 oleh Bung Karno sebagai penggalinya. Sang
penggali sendiri tidak pernah menjadikannya sebagai pusaka yang sakti, sehingga
menjadikannya sesuatu yang lahir secara wajar dan sesuai dengan keadaan
obyektif pada waktu itu. Tetapi dalam perkembangannya kemudian selama
pemerintahan Bung Karno, Pancasila senantiasa diterima oleh bangsa Indonesia
sebagai dasar berbangsa dan bernegara, dan dengan dasar Pancasila jugalah
kemudian rongrongan-rongrongan dan pemberontakan kaum reaksioner DI/TII,
PRRI/Permesta dan tindakan mereka yang membentuk Dewan Gajah, Dewan Banteng,
dan sebagainya. kemudian bisa dihancurkan dengan dukungan rakyat.
Oleh
karena Pancasila itu diterima dan didukung oleh Rakyat, walaupun diantara para
pendukung Pancasila itu sendiri belum tentu bisa memahaminya secara jelas,
namun kepercayaan atau kecintaan Rakyat terhadap Pancasila dan penggalinya
(Bung Karno) telah sangat melekat. Hal inilah yang kemudian dimanipulasi oleh
Jenderal Soeharto dan jenderal-jenderal Angkatan Darat lainnya untuk
mengkhianati dan menghancurkan Pancasila dan penggalinya sekaligus.
Tanggal 1
Oktober 1965 dini hari, yaitu hari yang sesungguhnya ketika apa yang menamakan
dirinya Gerakan Tigapuluh September atau G30S itu bergerak, setelah salah
seorang pelakunya yang juga merupakan orang terdekat jenderal Soeharto yaitu
Kolonel Latif melaporkan rencananya kepada Soeharto yang sedang menunggu anaknya
bernama Tommy Soeharto di rumah sakit Gatot Subroto.
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu jugalah Jenderal Soeharto memimpin appel di
KOSTRAD terhadap militer dari beberapa batalyon (530, 524 dan 328) yang
tersebar di Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan. Ketika mereka
didatangkan ke Jakarta dengan pasukan siap tempur atas perintah radiogram
Pangkostrad Mayjen Soeharto dengan alasan dalam rangka memperingati hari ABRI 5
Oktober 1965.
Pada
hari-hari sebelum terjadinya G30S, ketika pasukan dari Batalyon 530 yang
dipimpin oleh Bambang Supeno, Rakyat di Jakarta Barat sangat senang menerima
kehadiran mereka yang menumpang di rumah-rumah Rakyat. Mereka ikut kerja bakti
social memperbaiki jalan dan kampong-kampung bersama-sama Rakyat.
Tetapi
kemudian Rakyat menjadi ketakutan dan tidak menyukai mereka, karena pada
tanggal 30 September 1965 tengah malam (lewat jam 24.00), mereka menghilang
tanpa diketahui oleh Rakyat. Sehingga ada Rakyat yang menggerundel : “datang
sebagai tamu dengan sopan dan baik-baik, tapi pergi seperti pencuri, tanpa
pamit”. Ternyata, kepergian mereka semua adalah mengikuti appel di KOSTRAD
dibawah pimpinan Soeharto.
Pada
tanggal 1 Oktober itulah sebagai awal Soeharto mulai melakukan tindakan-tindakan
sendiri tanpa melakukan koordinasi baik terhadap PANGAD, A. Yani maupun dengan
Bung Karno selaku Panglima Tertinggi ABRI mengenai adanya laporan dari Kol.
Latief. Demikian juga pembangkangan-pembangkangan selanjutnya terhadap
Presiden/Pangti ABRI Soekarno tentang pengangkatan Jenderal Pranoto
Reksosamudro sebagai Panglima Angkatan Darat.
Selanjutnya
Soeharto melakukan ofensif melalui kampanye “akan melaksanakan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen”. Sesumbar itu tidak
lain adalah dalam rangka mendiskreditkan Bung Karno, agar terkesan pemerintahan
presiden Soekarno tidak melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekwen.
Dengan menggunakan atasnama Pancasila itu ternyata Soeharto mendapatkan
simpatik dan dukungan dari golongan anti komunis dan anti Soekarno, serta
Rakyat yang belum memahami Pancasila dalam arti sebenarnya.
Berangkat
dari situlah dan dengan memanipulasi Pancasila itulah kemudian Soeharto
berhasil melakukan siasat dan tipu muslihatnya, sehingga dapat melakukan
pembantaian besar-besaran serta melakukan penangkapan, penyiksaan dan
pembuangan terhadap puluhan ribu Rakyat yang tidak berdosa.
Dengan
memanipulasi Pancasila itulah kemudian Soeharto berhasil melakukan kup
merangkak menggulingkan pemerintahan presiden Soekarno dan kemudian mendirikan
orde baru yang jadi proyek dan dukungan sepenuhnya dari imperialis yang
berkomplot di dalam IGGI. Maka setelah dia berhasil menjadi penguasa tertinggi
di Republik Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai negeri dan masyarakat
jajahan model baru (Nekolim), Soeharto menjadikan Pancasila sebagai asas
tunggal terhadap partai politik dan organisasi-organisasi.
Dengan
demikian, Soeharto berhasil menjadikan Pancasila sebagai alat untuk memenuhi
seluruh ambisi dan kerakusannya, dijadikanlah 1 Oktober sebagai Hari
“Kesaktian” Pancasila.